Selasa, 20 Maret 2012

Ingin Anak Cerdas? Jangan Telat Menikah dan Cari Wanita Cerdas!


Bagi anda para pria yang saat ini masih menikmati masa lajang, nampaknya jangan terlalu larut dalam kesendirian yang berkepanjangan. Bagi mereka yang saat ini masih memegang teguh prinsip “tua-tua kelapa, makin tua makin banyak santannya”, sebaiknya juga harus berpikir kembali tentang pendapat mereka tersebut. Apapun alasan anda, bila anda kini telah berusia di atas 30 tahun dan ideal untuk berkeluarga, dianjurkan untuk segera menikah.

Tahukah anda, pertimbangan yang paling urgensi untuk segera menikah adalah bahwa anak yang terlahir dari ayah yang berusia tua akan memiliki kemampuan berpikir (ber-IQ) rendah. Apalagi jika anda menginginkan keturunan berotak brilian, disarankan untuk menikah antara usia 20-30 tahun. Anjuran “jangan telat nikah” seringkali hanya ditujukan kepada kaum wanita. Padahal, jam biologis ternyata tidak mengenal gender.

Dalam sebuah penelitian di Negeri Paman Sam yang diketuai oleh John McGrath MD PhD, dari Queensland Brain Institute of the University of Queensland di Brisbane, Australia, dilaporkan bahwa bayi dan anak-anak yang terlahir dari ayah yang sudah berumur tua memiliki kecerdasan dan kemampuan berpikir lebih rendah. Hal ini merupakan yang pertamakalinya. Dalam penelitian tersebut diketahui dampak dari pria-pria yang telat menjadi ayah hingga usia 40 atau lebih. Menurut McGrath, “sekarang kami memiliki lebih banyak bukti bahwasanya faktor usia ayah berperan penting. Artinya, makin tua ayah, makin jelek pula hasil tes kecerdasan sang anak.”

McGrath bersama timnya mengumpulkan data 33.000 anak di Amerika Serikat yang lahir antara tahun 1959-1965 dari ayah berusia 15-65 tahun. Dalam penelitian tersebut dilakukan analisis terhadap hasil tes kognitif yang dilakukan anak-anak tersebut saat berusia 8 bulan, 4 tahun, dan 7 tahun. Tes tersebut meliputi evaluasi kemampuan anak untuk berpikir dan menganalisis, konsentrasi, belajar, berbicara, membaca, aritmatika, mengingat, serta kemampuan motorik seperti koordinasi tangan dan mata. Hasilnya adalah bahwa makin tua usia sang ayah, makin rendah pula skor kecerdasan anaknya. Sebagai contoh, anak yang terlahir dari ayah berusia 20 tahun memiliki skor tes IQ rata-rata 106,8 poin. Sementara anak yang terlahir dari ayah usia 50 tahun rata-rata skornya lebih rendah, yaitu 100,7.

Keterkaitan antara faktor usia ayah dan IQ yang rendah, menurut Mc-Grath, salah satu kemungkinan penyebabnya adalah mutasi. Sperma diproduksi di dalam tubuh pria seumur hidup. Makin tua umur seorang pria, spermanya akan semakin mudah mengalami mutasi, yaitu salah mengartikan kode DNA. Akibatnya, perkembangan otak bayi dan anak akan terganggu. Hormon terpenting pria, yakni testosteron, mulai menurun pada usia 30, sehingga pria dianjurkan memiliki anak sebelum usia 30.

Menurut seorang psikiater Mary Cannon MD, dari the Royal College of Surgeons di Dublin, Irlandia, “telat menjadi ayah juga akan berdampak signifikan, baik terhadap kondisi fisik maupun psikologis anak”. Ia mengingatkan beberapa faktor risiko dari telat menjadi ayah. Mulai penurunan skor IQ anak sebanyak 3-6 poin, hingga risiko penyakit mental serius seperti skizofrenia dan autis.

Kecerdasan anak ternyata juga dipengaruhi oleh faktor genetik seorang Ibu. Menurut ahli genetika dari UMC Nijmegen Netherlands Dr Ben Hamel, pengaruh tersebut sangat besar karena tingkat kecerdasan seseorang terkait dengan kromosom X yang berasal dari ibu. Ibu yang cerdas berpotensi besar melahirkan anak yang cerdas pula. Dalam keadaan normal, setiap manusia memiliki 23 pasang kromosom yang terdiri atas 22 pasang kromosom autosom dan sepasang kromosom seks.

Kromosom yang berasal dari ibu sebanyak 23 disebut kromosom XX. 23 pasang lagi berasal dari ayah yang disebut kromosom XY. Kromosom dari ayah dan ibu akan bergabung saat terjadinya fertilisasi, yaitu pertemuan antara sel sperma dan sel telur yang akan menghasilkan zigot. Kemudian zigot akan melakukan pembelahan sel secara mitosis sehingga setiap sel dalam tubuh manusia akan membawa informasi genetik yang sama.

Genetika yang diturunkan dari kedua orang tua, berupa asupan gizi dan rangsangan dari luar. Kebutuhan gizi anak yang tercukupi serta interaksi orang tua dan anak akan mempengaruhi perkembangan otak yang sempurna. Sehingga kecerdasan yang sebenarnya itu adalah akumulasi dari genetik, asupan gizi dan rangsangan dari luar. Kesimpulannya, walaupun orang tua mempunyai genetik yang baik, namun anak tidak diberi makanan yang dengan gizi yang baik dan tanpa dirangsang motorik halusnya, kecerdasan seorang anak takkan muncul dengan sempurna.

Oleh karena itu, bila anda menginginkan keturunan yang smart, bersegeralah untuk menikah. Carilah isteri seorang wanita yang cerdas yang kelak menjadi ibu bagi putera puteri anda. Karena kedua faktor tersebut sangat menentukan kecerdasan berpikir (IQ) seorang anak.

************


“Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dari sari pati tanah. Kami jadikan sari pati itu air mani yang ditempatkan dengan kokoh di tempat yang teguh. Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, dari segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, Kami jadikan pula tulang-belulang. Kemudian tulang belulang itu kami bungkus dengan daging”. (QS Al Mu’minun 23 : 12 – 14).

“Kemudian Ia menyempurnakan penciptaan-Nya dan Ia tiupkan padanya sebagian dari Roh-Nya dan Ia jadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan rasa tetapi sedikit sekali kamu bersyukur”. (QS As Sajadah 32 : 9).
 
 
 
                                                                                                                                                                                                          sumber:bersamadakwah.com

Senin, 19 Maret 2012

Wahai Para Istri, Menaati Suami adalah Kunci Surga


Syariat Islam telah mengatur hak suami terhadap istri dengan menaatinya. Istri harus menaati suami dalam segala hal yang tidak berbau maksiat, berusaha memenuhi segala kebutuhannya sehingga membuat suami ridha kepadanya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam sebuah hadits pernah bersabda, “Jika seorang istri melakukan shalat lima waktu, puasa di bulan ramadhan, memelihara kemaluannya dan menaati suaminya, niscaya dia akan memasuki surga Tuhannya.” (HR. Ahmad).

Bahkan dalam hadits lain disebutkan, “Jika aku boleh menyuruh seseorang untuk sujud kepada orang lain, tentu aku akan menyuruh seorang istri untuk sujud kepada suaminya.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah). Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal bermaksiat kepada Khalik (Sang Pencipta).” (HR. Ahmad).

Oleh karena itu, seorang istri harus menuruti perintah suaminya. Jika suami memanggilnya, maka dia harus menjawab panggilannya. Jika suami melarang sesuatu maka dia harus menjauhinya. Jika suami menasihatinya maka dia harus menerima dengan lapang dada. Jika suami melarang tamu yang datang, baik kerabat dekat maupun jauh, baik dari kalangan mahram ataupun tidak, untuk masuk rumah selama dia bepergian, maka istri wajib mematuhinya.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Ketahuilah bahwa kalian mempunyai hak atas istri kalian dan istri kalian juga mempunyai hak atas kalian. Adapun hak kalian atas istri kalian adalah tidak mengizinkan orang yang kalian benci untuk memasuki rumah kalian.” (HR. At-Tirmidzi)

Istri Yang Taat

Istri yang taat adalah istri yang mengetahui kewajibannya dalam agama untuk mematuhi suaminya dan menyadari sepenuh hati betapa pentingnya mematuhi suami. Istri harus selalu menaati suaminya pada hal-hal yang berguna dan bermanfaat, hingga menciptakan rasa aman dan kasih sayang dalam keluarga agar perahu kehidupan mereka berlayar dengan baik dan jauh dari ombak yang membuatnya bergocang begitu hebat. Sebaliknya, Islam telah memberikan hak seorang wanita secara penuh atas suaminya, di mana Islam memerintahkannya untuk menghormati istrinya, memenuhi hak-haknya dan menciptakan kehidupan yang layak baginya sehingga istrinya patuh dan cinta kepadanya.

Kewajiban menataati suami yang telah ditetapkan agama Islam kepada istri tidak lain karena tanggung jawab suami yang begitu besar, sebab suami adalah pemimpin dalam rumah tangganya dan dia bertanggungjawab atas apa yang menjadi tanggungannya. Di samping itu, karena suami sangat ditekankan untuk mempunyai pandangan yang jauh ke depan dan berwawasan luas, sehingga suami dapat mengetahui hal-hal yang tidak diketahui istri berdasarkan pengalaman dan keahliannya di bidang tertentu.

Istri yang bijaksana adalah istri yang mematuhi suaminya, melaksanakan perintahnya, serta mendengar dan menghormati pendapat dan nasihatnya dengan penuh perhatian. Jika dia melihat bahwa di dalam pendapat suaminya terdapat kesalahan maka dia berusaha untuk membuka dialog dengan suaminya, lalu menyebutkan kesalahannya dengan lembut dan rendah hati. Sikap tenang dan lembut bak sihir yang dapat melunakkan hati seseorang.

Ketaatan kepada suami mungkin memberatkan seorang istri. Seberapa banyak istri mempersiapkan dirinya untuk mematuhi suaminya dan bersikap ikhlas dalam menjalankannya maka sebanyak itulah pahala yang akan didapatkannya, karena seperti yang dikatakan oleh para ulama salaf, “Balasan itu berbanding lurus dengan amal yang dilakukan seseorang.” Tidak diragukan bahwa istri bisa memetik banyak pahala selain taat kepada suami seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lainnya, namun pahala yang didapatkannya tidak sempurna jika tidak mendapatkan pahala dalam menaati suaminya, menyenangkan hatinya dan tidak melakukan sesuatu yang tidak disukainya.

Anda mungkin menemukan benih-benih kesombongan mulai merasuki istri anda, maka ketika itu hendaklah anda berlapang dada kemudian menasihatinya dengan sepenuh hati. Layaknya sebuah perusahaan, pernikahan juga akan mengalami ancaman serius berupa perselisihan dan sengketa antara individu yang ada di dalamnya. Suami adalah pelindung keluarga berdasarkan perintah Allah kepadanya, maka dialah yang bertanggungjawab dalam hal ini. Sebab, keluarga adalah pemerintahan terkecil, dan suamilah rajanya, sehingga dia wajib dipatuhi. Allah Ta’ala telah berfirman, “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.” (QS. An-Nisaa` [4] : 31)

Batas-batas ketaatan
Kewajiban istri untuk menaati suaminya bukan bukan ketaatan tanpa batasan, melainkan ketaatan seorang istri yang shalih untuk suami yang baik dan shalih, suami yang dipercayai kepribadiannya dan keikhlasannya serta diyakini kebaikan dalam tindakannya. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Tidak ada ketaatan dalam hal berbuat maksiat akan tetapi ketaatan adalah pada hal-hal yang baik.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Abu Daud). Ketaatan istri ini harus dibarengi oleh sikap suami yang suka berkonsultasi dan meminta masukan dari istrinya sehingga memperkuat ikatan batin dalam keluarga. Konsultasi antara suami dan istri pada semua hal yang berhubungan dengan urusan keluarga merupakan sebuah keharusan, bahkan hal-hal yang harus dilakukan suami untuk banyak orang. Tidak ada penasehat yang handal melebihi istri yang tulus dan mempunyai banyak ide cemerlang untuk suaminya. Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam suka berkonsultasi dengan istri-istrinya dan mengambil pendapat mereka dalam beberapa hal penting.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah berskonsultasi kepada istrinya, Ummu Salamah pada kondisi yang sangat penting di kala para shahabat enggan menyembelih unta dan mencukur rambutnya. Ketika itu Ummu Salamah meminta Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk melakukannya terlebih dahulu dan tidak berbicara kepada siapapun. Demi melihat hal itu, para shahabat pun melakukannya. Sungguh pendapat Ummu Salamah sangat brilliant!

Akhirnya, kita dapat memahami bahwa Islam telah mengatur hak-hak suami-istri. Jika masing-masing pasangan melaksanakannnya dengan cara terbaik tentu kehidupan rumah tangga akan bahagia, namun jika hak tersebut disalahgunakan dan tidak dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka hal itu dapat menggagalkan sebuah ikatan perkawinan. Intinya adalah mengikuti Al-Qur`an dan hadits dalam menjalankan bahtera pernikahan sehingga tercipta keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Amiin.

Penulis : Yum Roni Askosendra

Minggu, 18 Maret 2012

Tiga Bulan Tidak Mampu Memandang Wajah Suami



Pernikahan itu telah berjalan empat (4) tahun, namun pasangan suami istri itu belum dikaruniai seorang anak. Dan mulailah kanan kiri berbisik-bisik: “kok belum punya anak juga ya, masalahnya di siapa ya? Suaminya atau istrinya ya?”. Dari berbisik-bisik, akhirnya menjadi berisik.

Tanpa sepengetahuan siapa pun, suami istri itu pergi ke salah seorang dokter untuk konsultasi, dan melakukan pemeriksaaan. Hasil lab mengatakan bahwa sang istri adalah seorang wanita yang mandul, sementara sang suami tidak ada masalah apa pun dan tidak ada harapan bagi sang istri untuk sembuh dalam arti tidak peluang baginya untuk hamil dan mempunyai anak.

Melihat hasil seperti itu, sang suami mengucapkan: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, lalu menyambungnya dengan ucapan: Alhamdulillah.

Sang suami seorang diri memasuki ruang dokter dengan membawa hasil lab dan sama sekali tidak memberitahu istrinya dan membiarkan sang istri menunggu di ruang tunggu perempuan yang terpisah dari kaum laki-laki.

Sang suami berkata kepada sang dokter: “Saya akan panggil istri saya untuk masuk ruangan, akan tetapi, tolong, nanti anda jelaskan kepada istri saya bahwa masalahnya ada di saya, sementara dia tidak ada masalah apa-apa.

Kontan saja sang dokter menolak dan terheran-heran. Akan tetapi sang suami terus memaksa sang dokter, akhirnya sang dokter setuju untuk mengatakan kepada sang istri bahwa masalah tidak datangnya keturunan ada pada sang suami dan bukan ada pada sang istri.

Sang suami memanggil sang istri yang telah lama menunggunya, dan tampak pada wajahnya kesedihan dan kemuraman. Lalu bersama sang istri ia memasuki ruang dokter. Maka sang dokter membuka amplop hasil lab, lalu membaca dan mentelaahnya, dan kemudian ia berkata: “… Oooh, kamu –wahai fulan- yang mandul, sementara istrimu tidak ada masalah, dan tidak ada harapan bagimu untuk sembuh.

Mendengar pengumuman sang dokter, sang suami berkata: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, dan terlihat pada raut wajahnya wajah seseorang yang menyerah kepada qadha dan qadar Allah SWT.

Lalu pasangan suami istri itu pulang ke rumahnya, dan secara perlahan namun pasti, tersebarlah berita tentang rahasia tersebut ke para tetangga, kerabat dan sanak saudara.

Lima (5) tahun berlalu dari peristiwa tersebut dan sepasang suami istri bersabar, sampai akhirnya datanglah detik-detik yang sangat menegangkan, di mana sang istri berkata kepada suaminya: “Wahai fulan, saya telah bersabar selama

Sembilan (9) tahun, saya tahan-tahan untuk bersabar dan tidak meminta cerai darimu, dan selama ini semua orang berkata:” betapa baik dan shalihah-nya sang istri itu yang terus setia mendampingi suaminya selama Sembilan tahun, padahal dia tahu kalau dari suaminya, ia tidak akan memperoleh keturunan”. Namun, sekarang rasanya saya sudah tidak bisa bersabar lagi, saya ingin agar engkau segera menceraikan saya, agar saya bisa menikah dengan lelaki lain dan mempunyai keturunan darinya, sehingga saya bisa melihat anak-anakku, menimangnya dan mengasuhnya.

Mendengar emosi sang istri yang memuncak, sang suami berkata: “istriku, ini cobaan dari Allah SWT, kita mesti bersabar, kita mesti …, mesti … dan mesti …”. Singkatnya, bagi sang istri, suaminya malah berceramah di hadapannya.

Akhirnya sang istri berkata: “OK, saya akan tahan kesabaranku satu tahun lagi, ingat, hanya satu tahun, tidak lebih”. Sang suami setuju, dan dalam dirinya, dipenuhi harapan besar, semoga Allah SWT memberi jalan keluar yang terbaik bagi keduanya.

Beberapa hari kemudian, tiba-tiba sang istri jatuh sakit, dan hasil lab mengatakan bahwa sang istri mengalami gagal ginjal. Mendengar keterangan tersebut, jatuhnya psikologis sang istri, dan mulailah memuncak emosinya. Ia berkata kepada suaminya: “Semua ini gara-gara kamu, selama ini aku menahan kesabaranku, dan jadilah sekarang aku seperti ini, kenapa selama ini kamu tidak segera menceraikan saya, saya kan ingin punya anak, saya ingin memomong dan menimang bayi, saya kan … saya kan …”. Sang istri pun bad rest di rumah sakit.

Di saat yang genting itu, tiba-tiba suaminya berkata: “Maaf, saya ada tugas keluar negeri, dan saya berharap semoga engkau baik-baik saja”. “Haah, pergi?”. Kata sang istri. “Ya, saya akan pergi karena tugas dan sekalian mencari donatur ginjal, semoga dapat”. Kata sang suami.

Sehari sebelum operasi, datanglah sang donatur ke tempat pembaringan sang istri. Maka disepakatilah bahwa besok akan dilakukan operasi pemasangan ginjal dari sang donatur.

Saat itu sang istri teringat suaminya yang pergi, ia berkata dalam dirinya: “Suami apa an dia itu, istrinya operasi, eh dia malah pergi meninggalkan diriku terkapar dalam ruang bedah operasi”.

Operasi berhasil dengan sangat baik. Setelah satu pekan, suaminya datang, dan tampaklah pada wajahnya tanda-tanda orang yang kelelahan.

Ketahuilah bahwa sang donatur itu tidak ada lain orang melainkan sang suami itu sendiri. Ya, suaminya telah menghibahkan satu ginjalnya untuk istrinya, tanpa sepengetahuan sang istri, tetangga dan siapa pun selain dokter yang dipesannya agar menutup rapat rahasia tersebut.

Dan subhanallah …

Setelah Sembilan (9) bulan dari operasi itu, sang istri melahirkan anak. Maka bergembiralah suami istri tersebut, keluarga besar dan para tetangga.

Suasana rumah tangga kembali normal, dan sang suami telah menyelesaikan studi S2 dan S3-nya di sebuah fakultas syari’ah dan telah bekerja sebagai seorang panitera di sebuah pengadilan di Jeddah. Ia pun telah menyelesaikan hafalan Al-Qur’an dan mendapatkan sanad dengan riwayat Hafs, dari ‘Ashim.

Pada suatu hari, sang suami ada tugas dinas jauh, dan ia lupa menyimpan buku hariannya dari atas meja, buku harian yang selama ini ia sembunyikan. Dan tanpa sengaja, sang istri mendapatkan buku harian tersebut, membuka-bukanya dan membacanya.

Hampir saja ia terjatuh pingsan saat menemukan rahasia tentang diri dan rumah tangganya. Ia menangis meraung-raung. Setelah agak reda, ia menelpon suaminya, dan menangis sejadi-jadinya, ia berkali-kali mengulang permohonan maaf dari suaminya. Sang suami hanya dapat membalas suara telpon istrinya dengan menangis pula.

Dan setelah peristiwa tersebut, selama tiga bulanan, sang istri tidak berani menatap wajah suaminya. Jika ada keperluan, ia berbicara dengan menundukkan mukanya, tidak ada kekuatan untuk memandangnya sama sekali.

(Diterjemahkan dari kisah yang dituturkan oleh teman tokoh cerita ini, yang kemudian ia tulis dalam email dan disebarkan kepada kawan-kawannya)

Cinta Itu Artinya Setia



Cinta itu tidak selalu bisa diucapkan. Ada suami yang telah bertahun-tahun hidup bersama istrinya, namun tak sekalipun istrinya mendengar ia mengucapkan cinta. "Aku cinta kamu, sayang", "I love You", maupun kalimat-kalimat sejenisnya, tak pernah berbisik di telinga sang istri. Mungkin ayah atau kakek kita adalah contohnya.

Pun ada, istri yang tak pernah terdengar mengucap cinta pada suaminya. Biasanya perempuan seperti ini adalah istri dari suami yang juga tak mengatakan cinta. Mereka tidak mengucapkan cinta bukan berarti tak cinta. Karena cinta itu tak selalu mampu diucapkan, tetapi cinta dapat mereka rasakan dari pasangannya. Ada getar-getar yang begitu nyata mereka rasakan di kala berdekatan, berkomunikasi, bermadu kasih, perhatian, dan kesetiaan. Bagi mereka itu sudah cukup menjadi bukti cinta, tanpa harus keluar langsung dari lisan pasangannya.

Sebaliknya, ada suami atau istri yang sebenarnya tidak mencintai pasangannya, namun mereka mengatakan cinta. Buktinya adalah, mereka tidak setia.

"Aku cinta kamu", "I love You, honey", dan kalimat sejenis begitu mudah terucap dari bibir mereka. Namun bibir yang mengucap kalimat itu berkhianat dengan memagut bibir wanita lain di luar pengetahuan istrinya. Ia meyakinkan pasangannya dengan ikrar lisan, namun hatinya terikat pada lelaki atau wanita di luar sana. Ternyata tidak sedikit orang yang berselingkuh rajin mengucap cinta untuk menutupi kepura-puraannya.

Sepandai-pandainya tupai melompat, suatu saat akan jatuh juga. Sepintar-pintarnya orang menyembunyikan "pengkhianatan" kepada suami atau istrinya, suatu saat terbongkar juga. Ada yang ketahuan di belakang hari oleh istrinya sendiri, ada yang terpergok teman atau kerabat lalu disampaikan ke istri. Mungkin ada pula yang baru diketahui setelah ia meninggalkan dunia ini. Atau bahkan ada yang aman hingga Allah yang membuka rahasianya di yaumul hisab nanti.

Tentu yang ideal untuk masa sekarang adalah pasangan suami istri yang saling menyatakan cintanya dan setia dengan cinta yang diucapkannya. Terlebih bagi mereka yang tak saling kenal sebelumnya, kecuali sebatas ta'aruf menjelang pernikahan. Pernyataan cinta, sesegera setelah akad nikah, akan menyegerakan "kepastian" yang ditunggu istri atau suami bahwa keluarga mereka adalah keluarga cinta. Lalu kesetiaan itu semakin mengokohkan jiwa dan menyemaikan cinta.

Rasulullah pernah menasehati sahabatnya untuk menyatakan cinta kepada sahabat lain yang dicintainya; cinta karena ukhuwah, cinta dalam persaudaraan Islam. Maka kepada istri atau suami, cinta lebih berhak dinyatakan. Karena Rasulullah di lain kesempatan mensabdakan bahwa tak ada cinta antara dua orang yang melebihi pernikahan.

Cinta itu artinya setia. Jika engkau setia, maka cintamu hanya untuk istrimu saja. Cinta itu artinya setia. Jika engkau setia, maka tanganmu hanya untuk istrimu, takkan membelai wanita lainnya. Cinta itu artinya setia. Jika engkau setia, maka bibirmu hanya untuk istrimu, takkan bersentuhan dengan bibir wanita lain. Apalagi "kehormatan" mu. []
 
 
                                                                                                                                                                        
 
                                                                                                                                                                                                              sumber:bersamadakwah.com